Kamis, 26 November 2009

"Pengertian puasa,Masalah Niat Berpuasa & Hal-hal yang membatalkannya"



oleh : Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid


Definisi Puasa

Shaum (puasa) secara bahasa bermakna imsâk (menahan); dan secara syar’i bermakna: Menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan mulai terbitnya fajar shubuh hingga terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.


Hukum Puasa

Segenap umat Islam sepakat bahwa puasa di bulan Ramadhan itu hukumnya fardhu (wajib). Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah:
ياأيها الذين ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصيام كَمَا كُتِبَ عَلَى الذين مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)

Dalil dari hadits (sunnah) adalah sabda Rasulullah:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ. وذكر منها: صَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam dibangun di atas lima perkara, –disebutkan di antaranya– puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari).

Barangsiapa yang tidak berpuasa (ifthar) sekalipun satu hari di siang Ramadhan tanpa udzur (alasan yang dibenarkan syara’) maka ia telah melakukan satu dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda tentang mimpi yang pernah ia saksikan:
حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ اْلجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيْدَةٍ، قُلْتُ: مَا هَذِهِ اْلأَصْوَاتِ ؟ قَالُوا: هَذَا عَوَاءُ أَهْلِ النَّارِ، ثُمَّ اِنْطَلَقَ بِي، فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيْـبِهِمْ، مُشَقَّقَةً أَشْدَاقُهُمْ، تَسِيْلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، قَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ يَفْطُرُوْنَ قبْلَ تَحِلَّةَ صَوْمِهِمْ.
“Sampai ketika aku berada di tengah gunung, tiba-tiba terdengar suara-suara yang sangat keras. Maka aku bertanya, “Suara apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah teriakan penghuni neraka.” Kemudian dia (Jibril) membawaku pergi, tiba-tiba aku telah berada di hadapan suatu kaum yang digantung dengan kaki di atas dan sudut mulut mereka terkoyak, dari sudut mulut mereka bercucuran darah. Maka aku bertanya, “Siapa mereka?” Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum sampai waktunya.” (Shahihut Targhib wat Tarhib: 1/420)

Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Sudah menjadi ketetapan bagi kaum muslimin, bahwa barangsiapa yang meninggalkan puasa tanpa udzur (syar’i) maka ia lebih buruk dari pada pezina dan pecandu khamar, bahkan mereka meragukan keislamannya dan menganggapnya zindiq dan menyimpang dari agama.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila (seseorang) tidak puasa di bulan Ramadhan karena menganggap halal (meninggalkannya), karena perbuatannya itu maka ia wajib dibunuh, dan bila ia orang fasiq maka harus dihukum karena berbuka di siang hari bulan Ramadhan.” (Majmu’ Fatawa: 25/265)


Keutamaan Puasa

Keutamaan puasa itu sangat besar. Di antara hadits shahih yang menerangkan keutamaannya adalah bahwasanya puasa telah dikhususkan oleh Allah bagi diri-Nya, dan bahwasanya Dialah yang langsung memberikan pahalanya, dengan melipatgandakan pahalanya untuk orang yang berpuasa dengan tanpa batas. Hadits menyebutkan:
إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أُجْزِي بِهِ.
“Kecuali puasa, karena puasa adalah milik (bagi)-Ku dan Aku yang memberikan pahalanya.” (HR. Al-Bukhari).

Dan sesungguhnya puasa itu tiada tandingannya, do’a orang yang berpuasa tidak ditolak, orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan, yaitu apabila ia berbuka puasa ia gembira karenanya, dan apabila ia bertemu dengan Tuhannya ia bahagia karena puasanya, puasa dapat memberikan syafa’at pada hari Kiamat kepada orang yang berpuasa, dimana ia akan berkata, “Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat di siang hari, maka izinkanlah aku memberikan syafa’at kepadanya”, dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada harumnya minyak kasturi, puasa adalah perisai dan benteng yang paling kuat (yang mencegah) dari api neraka, dan barangsiapa yang berpuasa satu hari fi sabilillah niscaya Allah menjauhkan mukanya dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan, dan barangsiapa berpuasa satu hari karena semata mengharap keridhaan Allah dan ia mati dalam keadaan berpuasa, niscaya ia akan masuk surga, di surga itu ada pintu yang disebut Rayyan, darinya orang-orang yang berpuasa masuk (surga) dan tidak seorang pun masuk lewat pintu itu selain mereka.

Sesungguhnya Ramadhan merupakan pilar (rukun) Islam, Al-Qur’an diturunkan di dalam bulan ini dan pada bulan ini pula terdapat Lailatul Qadar yang lebih baik dari pada seribu bulan. Apabila bulan Ramadhan tiba pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Puasa di bulan Ramadhan sama dengan puasa sepuluh bulan penuh.

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu diampuni, dan Allah mempunyai banyak orang-orang yang dibebaskan (dari neraka) pada setiap berbuka. (Untuk keterangan lebih lanjut mengenai rujukan seputar hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan puasa di atas silakan lihat buku terjemahan aslinya)


Faedah Puasa

  • Puasa mengandung banyak hikmah dan faedah yang berkisar pada ketaqwaan yang disebutkan oleh Allah subhanahu wata'aala di dalam firman-Nya: “agar kamu bertaqwa.”
    Penjelasannya adalah: Sesungguhnya apabila nafsu dapat menahan dirinya dari perbuatan halal karena mendambakan keridhaan Allah subhanahu wata'aala dan takut hukuman-Nya, maka sudah pasti tunduk untuk menahan diri dari yang haram.


  • Sesungguhnya apabila perut seseorang lapar, maka rasa lapar indra yang lain terhalangi, dan apabila perutnya kenyang, maka akan laparlah lisan, mata, tangan dan kemaluannya (nafsu seksnya). Jadi, puasa itu dapat mematahkan rongrongan setan dan melumpuhkan syahwat dan menjaga anggota tubuh.


  • Sesungguhnya apabila orang yang berpuasa itu merasakan penderitaan lapar, maka ia akan merasakan pula penderitaan orang-orang fakir, maka akan timbullah rasa belas kasih dan uluran tangan untuk menutup kebutuhan mereka; karena sebagaimana pepatah mengatakan, “Berita itu tidak seperti dengan apa yang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri” dan “orang yang naik kendaraan itu tidak akan mengetahui sengsaranya pejalan kaki kecuali apabila ia jalan kaki.”


  • Sesungguhnya puasa dapat mendidik dan menumbuhkan kemauan menghindarkan dari hawa nafsu dan jauh dari kemaksiatan, karena di waktu berpuasa kita dapat memaksa tabi’at kita dan menyapih nafsu dari kebiasaan-kebiasaannya.


  • Puasa juga membiasakan kita berdisiplin dan tepat waktu, yang mampu menanggulangi keteledoran banyak orang jikalau mereka berakal.


  • Puasa juga menampakkan prinsip kesatuan kaum muslimin, dimana segenap umat berpuasa dan berhari raya bersama pada bulan yang sama.


  • Di dalam berpuasa juga terdapat
Masalah Niat Dalam Berpuasa


  • Di dalam berpuasa fardhu disyaratkan adanya niat, dan demikian pula di dalam setiap puasa wajib, seperti puasa qadha’ (mengganti) dan puasa kaffarat, karena hadits berbunyi:
    لاَ صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبـَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ.
    “Tidak sah puasa orang yang tidak berniat di malam harinya.” [Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 2454. Riwayat ini dikuatkan oleh beberapa imam, seperti Al-Bukhari, An-Nasa’i, At-Tirmidzi dan lain-lain. Talkhish al-Habir, 2/188]

    Niat boleh dilakukan pada waktu kapan saja di malam hari, sekalipun sesaat sebelum fajar. Niat adalah tekad dan hasrat hati untuk melakukan pekerjaan, dan melafalkan (membaca lafal) niat itu bid’ah. Dan setiap orang yang mengetahui bahwa besok hari adalah hari bulan Ramadhan dan ia bermaksud akan berpuasa, maka ia berarti telah berniat. [Majmu’ Al-Fatawa, 25/215] Dan barangsiapa yang berniat berbuka di siang hari namun tidak berbuka, maka menurut pendapat yang kuat, puasanya tidak batal; hal ini seperti orang yang ingin berbicara di saat shalat namun tidak melakukannya. Dan ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa puasanya batal sekalipun hanya dengan sekedar memutus niatnya. Maka yang lebih hati-hati bagi orang yang melakukan demikian adalah menggantinya di lain hari. Sedangkan riddah (murtad, keluar dari agama) dapat membatalkan niat, tanpa diperselisihkan oleh ulama.

    Orang yang puasa Ramadhan tidak perlu memperbaharui niatnya pada setiap malam hari bulan Ramadhan, sudah cukup baginya niat di saat datangnya bulan Ramadhan. Namun jika ia memutus niatnya dengan berbuka di dalam perjalanan (safar) atau karena sakit maka (apabila ia akan berpuasa lagi) dan udzurnya telah tiada, maka ia wajib memperbaharui niatnya.


  • Puasa sunnah mutlak tidak disyaratkan berniat di malam harinya, karena ada hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menuturkan,
    دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ فَقُلْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ.
    “Pada suatu hari Rasulullah shallallahu shallallahu shallallahu 'alahi wasallamalahi wasallamalaihi wasallam datang kepadaku lalu bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu (yang bisa saya makan)?” Aisyah menjawab, “Tidak.” Maka Nabi bersabda, “Maka kalau begitu aku berpuasa.” [Diriwayatkan oleh Muslim, 2/809, terbitan Abdul Baqi]

    Adapun puasa sunnah khusus seperti puasa hari Arafah dan puasa Asyura’, maka yang lebih berhati-hati adalah berniat di malam hari.


  • Dan siapa yang telah memulai berpuasa wajib, seperti puasa qadha’ (mengganti), puasa nadzar atau puasa kaffarat, maka ia wajib menyem-purnakan (menyelesaikan)nya, ia tidak boleh membatalkannya tanpa alasan yang dibenarkan. Sedangkan puasa sunnah boleh dilanjutkan dan juga boleh dibatalkan [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/342] sekalipun tanpa alasan (uzur), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pada suatu hari berpuasa sunnah, lalu kemudian beliau makan. [Sebagaimana tersebut dalam Shahih Muslim dalam kisah Al-Hais al-ladzi uhdiya ilaihi ‘inda ‘Aisyah, no. 1154, terbitan Abdul Baqi] Namun apakah orang yang membatalkan puasa sunnahnya itu mendapat pahala atas puasa sebagian hari yang telah dilakukannya? Sebagian ulama ada berpendapat tidak mendapat pahala [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 38/13], dan yang afdhalnya bagi yang berpuasa sunnah adalah menyempurnakan puasanya kalau tidak ada kepentingan (maslahat) syar’i yang mengharuskan ia memutus puasanya.


  • Orang yang tidak mengetahui bahwa bulan suci Ramadhan telah tiba kecuali setelah fajar Shubuh terbit, maka ia wajib imsak (menahan dari yang membatalkan) pada hari itu dan ia wajib menggantinya, sebagaimana pendapat jumhur ulama; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
    لاَ صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبـَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ.
    “Tidak sah puasa bagi orang yang tidak berniat puasa di malam harinya.” [Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2454]


  • Orang yang dipenjara dan orang yang ditahan, jika mengetahui masuknya bulan Ramadhan apakah itu dengan kesaksian dirinya sendiri atau berita dari seorang yang terpercaya, maka ia wajib berpuasa, dan jika tidak, maka ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui datangnya bulan suci Ramadhan dan melakukan puasa menurut dugaan kuatnya bahwa Ramadhan telah tiba. Lalu jika setelah itu puasanya pas (bertepatan) dengan bulan suci Ramadhan, maka puasanya sah, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Dan jika puasanya bertepatan dengan sesudah bulan Ramadhan, maka puasanya masih tetap sah menurut pendapat jumhur ulama fiqh, namun jika puasanya bertepatan dengan bulan sebelum Ramadhan, maka puasanya tidak sah dan ia wajib mengganti hari puasa yang tidak bertepatan dengan hari bulan Ramadhan. Dan kalau puasa si terpenjara itu sebagian harinya bertepatan dengan hari-hari bulan Ramadhan dan sebagian lagi tidak, maka puasa yang bertepatan dengan sebagian bulan Ramadhan dan yang sesudah bulan Ramadhan itu sah, sedangkan yang bertepatan dengan hari-hari sebelum bulan Ramadhan itu tidak sah. Dan jika keadaan terus tidak memungkinkannya untuk dapat memastikan bulan Rama-dhan, maka puasanya sah, karena ia telah mencurahkan segala kemampuannya (untuk mengetahui Ramadhan), sedangkan Allah tidak membebani seorang jiwa pun kecuali menurut kadar kemampuannya. [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 38/84] 


    Hal-hal yang Membatalkan


  • Semua hal yang membatalkan puasa selain haidh dan nifas tidak menjadikan puasa seseorang batal kecuali ada tiga syarat, yaitu: Orang itu mengerti bukan orang jahil, ingat dan tidak lupa, pilihannya sendiri bukan karena terpaksa atau dipaksa.

    Di antara hal-hal yang membatalkan puasa itu ada semacam pengeluaran, seperti jima’ (persetubuhan), sengaja memuntahkan, haidh dan berbekam; dan ada pula semacam pengisian perut, seperti makan dan minum. [Majmu’ Fatawa, 25/248]


  • Di antara hal-hal yang membatalkan juga ada yang semacam (semakna dengan) makan dan minum, seperti obat-obatan, pil yang ditelan lewat tenggorokan atau diinfus, dan demikian pula transfusi darah.

    Adapun suntikan yang bukan sebagai pengganti makanan atau minuman, akan tetapi hanya untuk pengobatan, seperti suntikan penisilin, insulin, atau seperti suntikan untuk tambah gairah tubuh, atau suntikan imunisasi, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa, apakah itu disuntikan lewat otot atau urat nadi. Namun sebaiknya hal itu dilakukan di malam hari sebagai sikap hati-hati. [Fatawa Ibnu Ibrahim, 4/189] Dan cuci darah yang mengharuskan dikeluarkannya darah secara keseluruhan untuk dibersihkan kemudian dikembalikan lagi dengan ditambah bahan kimia dan suplemen, seperti zat gula, garam atau lainnya, maka hal ini tidak dianggap mem-batalkan. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/90] Pendapat yang kuat adalah bahwa injeksi bius, obat tetesan mata dan telinga, cabut gigi dan pengobatan luka-luka, semua itu tidak membatalkan. [Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25/233, 25/245] Gas penawar asma juga tidak membatalkan, karena gas tersebut dialirkan ke paru-paru tidak merupakan makan dan selalu diperlukan di dalam dan di luar (waktu) puasa. Dan pengambilan darah untuk kepentingan pemeriksaan juga tidak membatalkan, bahkan dima’fu, karena merupakan hal yang dibutuhkan. [Fatawa Ad-Da’wah, Ibnu Baz, no. 979] Dan obat kumur juga tidak membatalkan selagi tidak ditelan. Dan orang yang memasukkan sesuatu ke lobang giginya, lalu rasa benda itu ada di tenggorokan maka hal itu tidak merusak puasanya. [Dari fatwanya Syaikh Abdul Aziz bin Baz secara lisan]



  • www.hidayah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar